Tuesday, September 16, 2008

Warning Tragedi Zakat Pasuruan

Oleh Ahmad Rofiq

Tragedi kemanusiaan akibat pembagian zakat secara langsung kembali berulang. Kali ini zakat di rumah H. Syaikhon Fikri, Desa Purutrejo Purworejo, Pasuruan, Jawa Timur, merenggut jiwa 21 orang karena berdesakan untuk mendapatkan zakat Rp 30.000.

Tragedi memilukan kali ini adalah kejadian yang kesekian kali. Tahun lalu di Semarang dan Bantul terjadi kisruh dalam pembagian zakat meskipun tidak ada korban.

Anehnya, para muzaki (orang kaya) tidak pernah "kapok" membagi secara langsung zakatnya kepada masyarakat. Tampaknya, mereka "menyimpan" kebanggan jika mereka dapat membagi secara langsung zakatnya, apalagi yang hadir ribuan orang dan berjubel dari berbagai daerah.

Mengapa mereka cenderung membagi zakatnya secara langsung kepada mustahik (penerima zakat)? Penelitian UIN Jakarta menunjukkan bahwa di antara Rp 50 triliun potensi zakat per tahun di Indonesia, baru tujuh persen yang tergarap oleh badan/lembaga amil zakat (BAZ/LAZ). Sepuluh persen masyarakat tidak percaya kepada BAZ/LAZ. Kebanyakan masyarakat menjawab, sulit akses kepada BAZ/LAZ, dan selebihnya menjawab karena kecilnya jumlah zakat yang mereka bayarkan.

***

Tragedi tersebut hendaknya menjadi warning bagi para pengelola BAZ/LAZ agar meningkatkan kinerjanya secara profesional. Programnya jelas, terukur, dibutuhkan masyarakat, dan lebih fokus pada upaya pemberdayaan ekonomi para mustahik, sekaligus membangun mentalitas kewirausahaan (entrepreneurship).

Misi utama zakat yang disyariatkan adalah mengurangi kemiskinan, yakni mengubah mustahik menjadi muzaki. Bagi muzaki, selain untuk membersihkan dan men-suci-kan harta mereka, juga agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya.

Karena itu, agar pelaksanaan misi zakat tersebut dapat terwujud secara konkret, manajemennya telah ditunjukkan dalam QS Al-Taubah: 60, yang disebut amil (wa al-'amilina 'alaiha). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa wajib, hukum pembayaran zakat melalui BAZ/LAZ. Jika memang dipandang perlu, MUI dapat mengeluarkan fatwa bahwa menyalurkan zakat melalui BAZ/LAZ adalah wajib.

BAZ/LAZ harus dikelola dengan manajemen zakat yang profesional. Sementara, sekarang masih ditangani oleh "panitia kecil" yang amatiran dan tidak profesional. Tugas amil belum diimplementasikan secara benar. Implikasinya, para muzaki tidak menaruh kepercayaan pada amil dan mereka cenderung membagi zakatnya sendiri langsung kepada para mustahik, tidak melalui amil. Itu pun pemilihan mustahik belum atau tidak tepat sasaran.

Amil adalah pengelola zakat yang secara eksplisit disebut Alquran. Amil harus bekerja dan mengurus zakat secara benar. Orang-orang yang ditugasi sebagai amil hendaklah yang memiliki kompetensi pemahaman tentang zakat, filosofi, dan tujuannya. Orang-orang yang ditugasi untuk menghimpun zakat mencatat, menginventarisasi mustahik, mengklasifikasikan, mendistribusikannya, dan membuat laporan pertanggungjawaban kepada publik.

Ada empat peran amil. Pertama, mengingatkan para muzaki agar tidak lupa membayar kewajiban zakat. Naluriah manusia adalah "bakhil" alias "kikir". Karena itu pula, kerja amil zakat adalah "menjemput bola" mendatangi muzaki (khudz min amwalihim) agar disiplin membayar zakat harta mereka sehingga hartanya bersih, suci, berkah, dan meningkat.

Kedua, menjadi intermediator antara mustahik dan muzaki. Meminjam bahasa Quraish Shihab, menjaga "air muka" mustahik agar tidak meminta-minta kepada muzaki. Islam memiliki konsep cerdas: tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah atau memberi lebih baik daripada meminta.

Meminta adalah pekerjaan yang "merendahkan" martabat dirinya. Muzaki tidak harus berhadapan langsung dengan mustahik karena akan dapat menimbulkan sikap riya dan mungkin takabur. Apalagi faktanya, banyak tragedi zakat telah menewaskan banyak orang.

Selain itu, Alquran mengidentifikasi mustahik yang hidupnya kekurangan dan tidak meminta-minta. Karena itu, untuk memberikan zakat, sebaiknya para mustahik didatangi oleh BAZ/LAZ agar tragedi zakat terulang lagi.

Ketiga, mengontrol para mustahik tidak menerima zakat dari berbagai sumber, yang dapat menimbulkan sifat dan sikap ketergantungan, yang dapat "memasung" dirinya untuk ikhtiar mengubah nasib dan masa depannya. Selama tidak ada sistem pengelolaan dan pendistribusian zakat secara konseptual yang bermuara pada mengubah mustahik menjadi muzaki dengan sistem zakat produktif, selama itu pula angka kemiskinan tidak pernah berkurang.

Keempat, memilah dan memilih serta mengklasifikasikan mustahik sehingga jelas di antara mereka mana yang lebih tepat menerima zakat konsumtif dan mana yang seharusnya diberi zakat produktif. Dengan klasifikasi itu, diharapkan dapat ditentukan target per tahun, berapa orang mustahiq yang diprediksi menjadi muzaki.

***

Karena misi utama zakat adalah mengubah mustahik menjadi muzaki atau mengentaskan kemiskinan, maka sistem dan konsep pengelolaan serta pendistribusian zakat ini harus dipahami oleh seluruh pengelola zakat, baik di badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah maupun lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Jika pengurangan angka kemiskinan itu menjadi program secara nasional, maka seluruh zakat mal yang terhimpun "wajib" disalurkan sebagai zakat produktif.

Pendistribusian zakat secara langsung oleh muzaki kepada mustahik secara harus dipotong/dipangkas. Selama para muzaki masih berminat membagi zakatnya secara langsung, maka implikasinya sama halnya menciptakan mental ketergantungan para mustahik. Mustahik yang termasuk kategori hidup kekurangan, tetapi tidak mau meminta-minta (al-mahrum) tidak akan pernah mendapatkan bagian zakat.

Untuk pertama kali memotong jalur ini, boleh jadi ada anggapan, Pak A orang kaya yang biasa membagi zakat sekarang "pelit"? Saya Kira, itu hal yang wajar. Atau, bisa juga dilaksanakan dengan memilah harta yang akan dibagikan. Harta yang dibagi secara konsumtif adalah infak dan shadaqah. Sementara zakat mal wajib disalurkan melalui BAZ/LAZ.

Dengan memotong jalur zakat konsumtif dan penyaluran melalui BAZ/LAZ, pendistribusian zakat produktif diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Allah a'lam bi al-shawab.

Prof Dr Ahmad Rofiq MA , guru besar Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

 

No comments:

Post a Comment