Thursday, September 25, 2008

Dermawan dermawan di bulan Ramadhan

Saya Tidak Berbisnis dengan Tuhan

Djaja Laksana sudah hampir tiga dekade berkiprah sebagai pengusaha. Dan dia tak hanya berbisnis. Selama 25 tahun, dia juga menjadi seorang dermawan yang membagi-bagikan hasil usahanya untuk kaum papa.

DJAJA Laksana cukup dikenal di kawasan Pucang. Menempati dua kavling, tempat tinggal bos PT Karya Dua Raksa itu tinggi menjulang dengan gedung dua lantai. Di depan terdapat pos satpam. Semua tamu harus registrasi di bangunan mini di depan rumah Djaja.

Begitu pagar dibuka, tampak tiga mobil parkir di halaman. Honda Jazz, Isuzu Panther, dan Hyundai Santa Fe. Itu belum termasuk kendaraan di dalam tempat parkir.

Selasa sore(23/9), rumah Djaja tak hiruk-pikuk. Pengusaha yang merintis pabrik semen itu duduk santai di teras rumah sambil bercengkerama dengan anjing pudel dan mendengarkan kicauan burung hwa mei.

''Minggu kemarin(21/9), saya benar-benar kewalahan. Yang datang ke sini di luar prediksi. Banyak sekali, sampai akhirnya petugas datang dan membubarkan mereka,'' kata Djaja yang pernah mencetuskan ide menutup semburan lumpur Lapindo di Porong dengan metode tekanan ala hukum Bernoulli itu.

Hari Minggu yang dimaksud Djaja adalah ketika dirinya membagikan sedekah kepada fakir miskin di depan rumahnya. Ketika itu, alumnus Teknik Mesin ITS tersebut membagikan 11 ton beras. Djaja juga mendistribusikan duit hingga Rp 100 juta.

Jumlah ''tamu'' di rumah Djaja diperkirakan mencapai 2.000 orang. Saking menggiurkannya dum-duman beras dan uang di rumah Djaja, sampai terjadi pemalsuan. Sejumlah pemburu zakat membuat kupon seakan-akan mereka adalah penerima yang sudah terdata di database panitia. ''Ada lebih dari 500 lembar kartu palsu. Kelihatan dari tulisan. Di kartu itu bukan tulisan tangan saya. Yang ketahuan bawa kartu palsu, orangnya langsung lari,'' ungkap Djaja sembari menunjukkan kartu palsu tersebut.

Setiap pembagian sedekah, Djaja tak mau gegabah. Dia tidak ingin beras dan uang jatuh ke tangan orang yang salah. Sebelum pembagian, dia membentuk panitia. Karena wilayahnya cukup luas, Djaja minta tolong pengurus karang taruna untuk membantu pendataan. ''Saya tidak hanya berbagi dengan warga sekitar. Bahkan ada yang dari Grudo, Pandegiling, Kalibokor, dan Manyar Sambongan. Makanya, H-2 pembagian, saya sudah kerja sama dengan karang taruna,'' tuturnya.

Setelah data masuk, Djaja melakukan survei. Dia sendiri yang menyurvei. Bapak dua anak itu rela blusukan dari satu kampung ke kampung lain.

Djaja tahu betul rasanya jadi orang miskin. Pria kelahiran Singaraja, Bali, tersebut mengaku lahir dari keluarga pas-pasan. Waktu kecil, dia tahu rasanya mengantre beras dan minyak tanah di kampung halamannya.

Namun, tekad Djaja untuk maju cukup besar. Dengan segala keterbatasan, dia memaksakan diri untuk merengkuh pendidikan tinggi. Kerja kerasnya berbuah ketika dinyatakan lulus sebagai insinyur dari jurusan Teknik Mesin ITS pada 1979.

Lulus kuliah, dia juga tak langsung kaya. Dia keluar masuk kerja sebagai karyawan perusahaan. ''Saya sampai bosan pindah-pindah kerja. Kerja 3-4 bulan, pindah ke tempat lain. Gaji kecil. Belum sampai akhir bulan sudah habis,'' ujarnya.

Kondisi itu berlangsung selama tiga tahun. Padahal, Djaja sudah menikah. ''Hingga akhirnya saya sadar, saya harus berani berhenti. Kalau ikut orang terus, jadi karyawan, saya tidak akan maju,'' tegas putra pasangan I Gede Tirtajaya dan I Nyoman Tirta itu.

Djaja memutuskan bekerja sendiri sebagai kontraktor. ''Teman saya kasih order bikin rol mesin. Tapi, saya tidak punya modal. Saya bingung,'' ucapnya.

Bermodal nekat, Djaja mendatangi sebuah toko UD Santoso di Jalan Bubutan. Di sana, pria yang hobi melukis tersebut membeli peralatan bearing yang saat itu berharga Rp 1,5 juta. ''Tidak punya uang, saya akhirnya ngebon ke pemilik toko. Jaminannya ijazah sarjana saya dari ITS. Ijazahnya saya berikan. Saya bilang, kalau ada duit, saya akan bayar utang,'' katanya.

Si pemilik toko ternyata tersentuh. Bearing diberikan tanpa harus menggadaikan ijazah. ''Kemudian, saya cari pipa bekas di Pasar Loak Demak. Pengerjaannya, saya nebeng di Bengkel Cokro Bersaudara. Sebab, saya pernah bekerja di situ,'' tuturnya.

Proyek itulah yang menjadi titik awal kesuksesan Djaja. Rol mesin bikinannya mulai banyak diminati. Hingga, dia berhasil mendirikan perusahaan konstruksi mesin PT Karya Dua Raksa. Sejak itu pula dia memulai lembaran baru hidup sebagai dermawan. ''Sejak 1983 saya mulai berbagi,'' katanya.

Tiap tahun, menjelang Lebaran, Djaja tak pernah absen memberikan sedekah. ''Ada tiga grup yang saya jatah. Tiap grup berbeda kategorinya,'' ujarnya.

Kelompok pertama, para janda renta. Djaja memberikan bantuan untuk lansia itu setiap bulan. Jumlah bantuannya berupa uang Rp 50 ribu dan 10 kilogram beras. ''Ada 50 janda tua yang terdata. Mereka mendapat bantuan setiap bulan,'' ucapnya.

Kemudian, jatah lainnya dibagikan kepada kelompok tukang becak. Namun, jatah tidak diberikan tiap bulan seperti kaum janda. Pengayuh roda tiga itu kebagian rezeki tiap tahun. Yakni, berupa paket 5 kilogram beras dan uang Rp 50 ribu.

Nah, kelompok ketiga adalah masyarakat umum. Grup itulah yang dijatah Djaja dengan 11 ton beras dan uang Rp 100 juta, Minggu lalu. ''Semua sudah ada kartu anggotanya. Kecuali ketika pembagian kepada masyarakat umum itu, saya memang menyiapkan 30 hingga 40 persen di luar anggota yang terdaftar,'' jelasnya.

Djaja juga rajin mendermakan sebagian hartanya ke sejumlah yayasan. Salah satunya, Yayasan Assalawiyah di kawasan Kedung Asem. Sekitar 10 tahun dia membantu operasional yayasan itu. Mulai pembangunan sampai saat ini.

''Saya juga membantu gereja. Juga yayasan-yayasan lain. Juga, memberikan beasiswa kepada siswa tak mampu. Itu saya lakukan supaya balance. Semua manusia kan umat Tuhan. Saya tidak membedakan agama ini, agama itu. Golongan ini, golongan itu. Semua saya anggap sama,'' ucap Djaja yang penganut Katolik itu.

Dia mengaku bangga bisa menyerahkan bantuan secara langsung. Ada kepuasan tersendiri. ''Kontak batin saya dengan orang-orang itu yang penting,'' tegasnya.

Karena itu, Djaja mengaku belum tertarik membagikan sedekah melalui lembaga. ''Kalau lewat lembaga, kesannya kok saya ini berbisnis. Kalau untung sekian, menyerahkan uang sekian. Ada hitungan kalkulatornya. Beda kalau diserahkan sendiri, kadang uang yang saya serahkan tidak tahu jumlah persisnya,'' ujarnya.

Tak terasa, 25 tahun sudah Djaja mengabdikan sebagian hartanya bagi orang yang membutuhkan. Karena rutinitas itu, pengusaha yang intens mencari solusi kasus lumpur Lapindo di Porong tersebut pantas disejajarkan dengan nama lain yang selama ini dikenal sebagai dermawan yang kerap bagi-bagi duit atau sembako.

Misalnya, keluarga (alm) H Sukri yang juga dikenal punya kebiasaan yang sama. ''H Sukri itu saingan saya. Saingan di akhirat,'' ucapnya lantas tertawa.

Dia menceritakan, ''persaingan'' dengan almarhum pengusaha besi tua itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang ''hobi'' berburu sedekah. ''Tapi, saya bisa mengidentifikasi, sehingga orang yang sudah dikasih H Sukri tidak mungkin saya kasih lagi,'' katanya.

Identifikasi dilihat dari KTP (kartu tanda penduduk). Jika penerima sedekah di H Sukri, biasanya pinggir laminating kartu diiris tegak lurus ke bawah. ''Sehingga, ketahuan. Kalau saya, biasanya KTP-nya saya plong (dilubangi) di pinggir-pinggirnya,'' jelasnya.

Djaja merasakan karunia luar biasa ketika bisa membantu orang. Hartanya tidak pernah berkurang, justru terus bertambah. Namun, bukan janji lipat ganda harta yang menjadi tujuan Djaja untuk berbagi. ''Sebab, saya tidak berbisnis dengan Tuhan,'' tegasnya.

Dia merasakan, berbagi adalah kewajiban bagi dirinya. Wajib yang berasal dari lubuk sanubari, bukan pamrih. (fid/dos)

( Jawa Pos , 25 September 2008 )

No comments:

Post a Comment