Friday, September 26, 2008

Inilah Bahaya Mengoplos Melamin ke Susu

KARENA ingin menjadikan seolah kandungan proteinnya tinggi, produk susu di China dicampuri melamin. Tidak tanggung-tanggung, sekurangnya empat bayi meninggal dunia dan sampai hari ini dilansir sudah lebih dari 13.000 bayi harus dirawat.
Sebenarnya kasus yang mirip pernah terjadi secara luas tahun lalu akibat pengoplosan melamin ke dalam makanan hewan dari China. Akibatnya, ratusan anjing dan kucing mati serta ribuan lainnya menderita penyakit gagal ginjal.

Apakah melamin itu? Samakah dengan melamin yang dipakai untuk peralatan makan kita? Apakah bahayanya? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus ini? Tulisan singkat berikut akan mencoba memberikan jawaban atas hal-hal itu.

Beda dengan perkakas

Melamin yang dipermasalahkan adalah senyawa organik bersifat basa dengan rumus C3H6N6, kandungan nitrogennya sampai 66 persen, biasa didapat sebagai kristal putih. Melamin biasanya digunakan untuk membuat plastik, lem, dan pupuk.

Plastik dari melamin, karena sifat tahan panasnya, digunakan luas untuk perkakas dapur. Jadi, melamin yang kini diributkan berbeda dengan melamin plastik perkakas. Melamin yang diributkan ini adalah bahan dasar plastik melamin.

Berdasarkan informasi di situs WHO, pencampuran melamin pada susu berawal dari tindakan pengoplosan susu dengan air. Akibat pengenceran ini, kandungan protein susu turun. Karena pabrik berbahan baku susu biasanya mengecek kandungan protein melalui penentuan kandungan nitrogen, penambahan melamin dimaksudkan untuk mengelabui pengecekan agar susu encer tadi dikategorikan normal kandungan proteinnya.

Data keamanan melamin

Penambahan melamin ke makanan tidak diperbolehkan oleh otoritas pengawas makanan negara mana pun. Walaupun seperti diberitakan Kompas, studi tentang efek konsumsi melamin pada manusia belum ada, hasil ekstrapolasi dari studi pada hewan dapat digunakan untuk memperkirakan efek pada manusia.

Hal itu telah tampak, bila melamin bergabung dengan asam sianurat (yang biasa juga terdapat sebagai pengotor melamin) akan terbentuk kristal yang dapat menjadi batu ginjal. Batu ginjal ini telah tampak pada hewan-hewan korban kasus pengoplosan melamin tahun lalu. Batu ginjal inilah yang dapat menyumbat saluran kecil di ginjal yang kemudian dapat menghentikan produksi urine, gagal ginjal, bahkan kematian.

Telah diketahui juga bahwa melamin bersifat karsinogen pada hewan. Gejala yang diamati akibat kontaminasi melamin terdapat pada darah di urine, produksi urine yang sedikit, atau sama sekali tidak dihasilkan, tanda-tanda infeksi ginjal, dan tekanan darah tinggi.

Melamin memang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh. Data keselamatan menyatakan, senyawa ini memiliki toksisitas akut rendah LD50 di tikus, yaitu 3.161 mg per kg berat badan. Pada studi dengan menggunakan hewan memang dikonfirmasi, asupan melamin murni yang tinggi mengakibatkan inflamasi kandung kemih dan pembentukan batu kandung kemih.

Food and Drugs Administration (Badan Makanan dan Obat) Amerika Serikat menyatakan, asupan harian yang dapat ditoleransi (tolerable daily intake/TDI) melamin adalah 0,63 mg per kg berat badan. Pada masyarakat Eropa, otoritas pengawas makanannya mengeset standar yang lebih rendah, yaitu 0,5 mg per kg berat badan.

Seberapa parah kontaminasi yang terjadi? Dari inspeksi yang dilakukan di China, dari 491 batch (kelompok) yang dites, 69 di antaranya positif mengandung melamin, berkisar dari 0,09 mg per kg susu sampai 619 mg per kg susu. Bahkan ada yang mencapai 2.563 mg per kg.

Dengan konsumsi susu formula per kg berat badan bayi sekitar 140 g sehari, kalau bayi mengonsumsi susu yang terkontaminasi akan menerima asupan melamin 0,013-86,7 mg per kg berat badannya.Bahkan, kalau mengonsumsi susu yang terkontaminasi 2.563 mg melamin per kg susu, dapat mencapai asupan 358,8 mg per kg berat badannya. Jauh melampaui batas toleransinya!

Pelajaran

Kasus ini memberi kita berbagai pelajaran. Pertama, analisis protein dalam makanan dengan metode penentuan nitrogen dalam kasus ini ternyata dapat dikelabui dengan bahan lain yang kandungan nitrogennya tinggi. Padahal, terdapat cara-cara lain untuk analisis protein selain dengan penentuan kandungan nitrogen, yang dalam kasus seperti ini perlu dilakukan.

Kedua, pengetahuan tentang bahaya penggunaan bahan aditif makanan harus diberikan ke semua lini, terlebih yang terlibat dalam produksi makanan. Keinginan mendapat keuntungan lebih besar, yang mungkin dipadukan dengan ketidaktahuan, ternyata berdampak amat besar.

Dalam skala yang berbeda dan melibatkan bahan yang berbeda, di sekitar kita banyak kasus seperti ini, misalnya kasus boraks, formalin, dan sebagainya. Saya yakin ”keuntungan” yang didapat dari tindak seperti ini tidak akan dapat membayar kerugian yang diakibatkannya, apalagi sampai hilangnya nyawa bayi-bayi tak berdosa./kcm

( Surya , 26 September 2008 oleh ISMUNANDAR, Guru Besar Kimia di FMIPA ITB )

 

 

 

 

 

 

 

Thursday, September 25, 2008

Dermawan dermawan di bulan Ramadhan

Saya Tidak Berbisnis dengan Tuhan

Djaja Laksana sudah hampir tiga dekade berkiprah sebagai pengusaha. Dan dia tak hanya berbisnis. Selama 25 tahun, dia juga menjadi seorang dermawan yang membagi-bagikan hasil usahanya untuk kaum papa.

DJAJA Laksana cukup dikenal di kawasan Pucang. Menempati dua kavling, tempat tinggal bos PT Karya Dua Raksa itu tinggi menjulang dengan gedung dua lantai. Di depan terdapat pos satpam. Semua tamu harus registrasi di bangunan mini di depan rumah Djaja.

Begitu pagar dibuka, tampak tiga mobil parkir di halaman. Honda Jazz, Isuzu Panther, dan Hyundai Santa Fe. Itu belum termasuk kendaraan di dalam tempat parkir.

Selasa sore(23/9), rumah Djaja tak hiruk-pikuk. Pengusaha yang merintis pabrik semen itu duduk santai di teras rumah sambil bercengkerama dengan anjing pudel dan mendengarkan kicauan burung hwa mei.

''Minggu kemarin(21/9), saya benar-benar kewalahan. Yang datang ke sini di luar prediksi. Banyak sekali, sampai akhirnya petugas datang dan membubarkan mereka,'' kata Djaja yang pernah mencetuskan ide menutup semburan lumpur Lapindo di Porong dengan metode tekanan ala hukum Bernoulli itu.

Hari Minggu yang dimaksud Djaja adalah ketika dirinya membagikan sedekah kepada fakir miskin di depan rumahnya. Ketika itu, alumnus Teknik Mesin ITS tersebut membagikan 11 ton beras. Djaja juga mendistribusikan duit hingga Rp 100 juta.

Jumlah ''tamu'' di rumah Djaja diperkirakan mencapai 2.000 orang. Saking menggiurkannya dum-duman beras dan uang di rumah Djaja, sampai terjadi pemalsuan. Sejumlah pemburu zakat membuat kupon seakan-akan mereka adalah penerima yang sudah terdata di database panitia. ''Ada lebih dari 500 lembar kartu palsu. Kelihatan dari tulisan. Di kartu itu bukan tulisan tangan saya. Yang ketahuan bawa kartu palsu, orangnya langsung lari,'' ungkap Djaja sembari menunjukkan kartu palsu tersebut.

Setiap pembagian sedekah, Djaja tak mau gegabah. Dia tidak ingin beras dan uang jatuh ke tangan orang yang salah. Sebelum pembagian, dia membentuk panitia. Karena wilayahnya cukup luas, Djaja minta tolong pengurus karang taruna untuk membantu pendataan. ''Saya tidak hanya berbagi dengan warga sekitar. Bahkan ada yang dari Grudo, Pandegiling, Kalibokor, dan Manyar Sambongan. Makanya, H-2 pembagian, saya sudah kerja sama dengan karang taruna,'' tuturnya.

Setelah data masuk, Djaja melakukan survei. Dia sendiri yang menyurvei. Bapak dua anak itu rela blusukan dari satu kampung ke kampung lain.

Djaja tahu betul rasanya jadi orang miskin. Pria kelahiran Singaraja, Bali, tersebut mengaku lahir dari keluarga pas-pasan. Waktu kecil, dia tahu rasanya mengantre beras dan minyak tanah di kampung halamannya.

Namun, tekad Djaja untuk maju cukup besar. Dengan segala keterbatasan, dia memaksakan diri untuk merengkuh pendidikan tinggi. Kerja kerasnya berbuah ketika dinyatakan lulus sebagai insinyur dari jurusan Teknik Mesin ITS pada 1979.

Lulus kuliah, dia juga tak langsung kaya. Dia keluar masuk kerja sebagai karyawan perusahaan. ''Saya sampai bosan pindah-pindah kerja. Kerja 3-4 bulan, pindah ke tempat lain. Gaji kecil. Belum sampai akhir bulan sudah habis,'' ujarnya.

Kondisi itu berlangsung selama tiga tahun. Padahal, Djaja sudah menikah. ''Hingga akhirnya saya sadar, saya harus berani berhenti. Kalau ikut orang terus, jadi karyawan, saya tidak akan maju,'' tegas putra pasangan I Gede Tirtajaya dan I Nyoman Tirta itu.

Djaja memutuskan bekerja sendiri sebagai kontraktor. ''Teman saya kasih order bikin rol mesin. Tapi, saya tidak punya modal. Saya bingung,'' ucapnya.

Bermodal nekat, Djaja mendatangi sebuah toko UD Santoso di Jalan Bubutan. Di sana, pria yang hobi melukis tersebut membeli peralatan bearing yang saat itu berharga Rp 1,5 juta. ''Tidak punya uang, saya akhirnya ngebon ke pemilik toko. Jaminannya ijazah sarjana saya dari ITS. Ijazahnya saya berikan. Saya bilang, kalau ada duit, saya akan bayar utang,'' katanya.

Si pemilik toko ternyata tersentuh. Bearing diberikan tanpa harus menggadaikan ijazah. ''Kemudian, saya cari pipa bekas di Pasar Loak Demak. Pengerjaannya, saya nebeng di Bengkel Cokro Bersaudara. Sebab, saya pernah bekerja di situ,'' tuturnya.

Proyek itulah yang menjadi titik awal kesuksesan Djaja. Rol mesin bikinannya mulai banyak diminati. Hingga, dia berhasil mendirikan perusahaan konstruksi mesin PT Karya Dua Raksa. Sejak itu pula dia memulai lembaran baru hidup sebagai dermawan. ''Sejak 1983 saya mulai berbagi,'' katanya.

Tiap tahun, menjelang Lebaran, Djaja tak pernah absen memberikan sedekah. ''Ada tiga grup yang saya jatah. Tiap grup berbeda kategorinya,'' ujarnya.

Kelompok pertama, para janda renta. Djaja memberikan bantuan untuk lansia itu setiap bulan. Jumlah bantuannya berupa uang Rp 50 ribu dan 10 kilogram beras. ''Ada 50 janda tua yang terdata. Mereka mendapat bantuan setiap bulan,'' ucapnya.

Kemudian, jatah lainnya dibagikan kepada kelompok tukang becak. Namun, jatah tidak diberikan tiap bulan seperti kaum janda. Pengayuh roda tiga itu kebagian rezeki tiap tahun. Yakni, berupa paket 5 kilogram beras dan uang Rp 50 ribu.

Nah, kelompok ketiga adalah masyarakat umum. Grup itulah yang dijatah Djaja dengan 11 ton beras dan uang Rp 100 juta, Minggu lalu. ''Semua sudah ada kartu anggotanya. Kecuali ketika pembagian kepada masyarakat umum itu, saya memang menyiapkan 30 hingga 40 persen di luar anggota yang terdaftar,'' jelasnya.

Djaja juga rajin mendermakan sebagian hartanya ke sejumlah yayasan. Salah satunya, Yayasan Assalawiyah di kawasan Kedung Asem. Sekitar 10 tahun dia membantu operasional yayasan itu. Mulai pembangunan sampai saat ini.

''Saya juga membantu gereja. Juga yayasan-yayasan lain. Juga, memberikan beasiswa kepada siswa tak mampu. Itu saya lakukan supaya balance. Semua manusia kan umat Tuhan. Saya tidak membedakan agama ini, agama itu. Golongan ini, golongan itu. Semua saya anggap sama,'' ucap Djaja yang penganut Katolik itu.

Dia mengaku bangga bisa menyerahkan bantuan secara langsung. Ada kepuasan tersendiri. ''Kontak batin saya dengan orang-orang itu yang penting,'' tegasnya.

Karena itu, Djaja mengaku belum tertarik membagikan sedekah melalui lembaga. ''Kalau lewat lembaga, kesannya kok saya ini berbisnis. Kalau untung sekian, menyerahkan uang sekian. Ada hitungan kalkulatornya. Beda kalau diserahkan sendiri, kadang uang yang saya serahkan tidak tahu jumlah persisnya,'' ujarnya.

Tak terasa, 25 tahun sudah Djaja mengabdikan sebagian hartanya bagi orang yang membutuhkan. Karena rutinitas itu, pengusaha yang intens mencari solusi kasus lumpur Lapindo di Porong tersebut pantas disejajarkan dengan nama lain yang selama ini dikenal sebagai dermawan yang kerap bagi-bagi duit atau sembako.

Misalnya, keluarga (alm) H Sukri yang juga dikenal punya kebiasaan yang sama. ''H Sukri itu saingan saya. Saingan di akhirat,'' ucapnya lantas tertawa.

Dia menceritakan, ''persaingan'' dengan almarhum pengusaha besi tua itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang ''hobi'' berburu sedekah. ''Tapi, saya bisa mengidentifikasi, sehingga orang yang sudah dikasih H Sukri tidak mungkin saya kasih lagi,'' katanya.

Identifikasi dilihat dari KTP (kartu tanda penduduk). Jika penerima sedekah di H Sukri, biasanya pinggir laminating kartu diiris tegak lurus ke bawah. ''Sehingga, ketahuan. Kalau saya, biasanya KTP-nya saya plong (dilubangi) di pinggir-pinggirnya,'' jelasnya.

Djaja merasakan karunia luar biasa ketika bisa membantu orang. Hartanya tidak pernah berkurang, justru terus bertambah. Namun, bukan janji lipat ganda harta yang menjadi tujuan Djaja untuk berbagi. ''Sebab, saya tidak berbisnis dengan Tuhan,'' tegasnya.

Dia merasakan, berbagi adalah kewajiban bagi dirinya. Wajib yang berasal dari lubuk sanubari, bukan pamrih. (fid/dos)

( Jawa Pos , 25 September 2008 )

Agar Orang Kaya Lain Meniru

SEBAGAI muslim, menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada kaum fakir dan miskin adalah kewajiban. Lebih-lebih ketika Ramadan seperti saat ini. Momen mulia itu pun dimanfaatkan H Moch. Maseri untuk berbagi rezeki kepada kaum duafa.

Membagikan zakat kepada puluhan orang, terutama tetangga, merupakan kegiatan rutin pemilik Toko Anda tersebut. Sejak 2000, Maseri rutin membagikan zakat, terutama menjelang Lebaran, di rumahnya di Jalan Kupang Gunung 3A.

Bapak tiga anak itu sengaja memanggil ratusan tetangga untuk datang ke rumahnya menerima zakat. Maseri pun tak takut dibilang riya atau pamer. ''Saya ingin memberi contoh kepada orang kaya agar meniru saya (berzakat, Red),'' ujar lelaki yang menunaikan haji kali pertama pada 1983 tersebut. ''Zakat itu harus ditunjukkan,'' tegasnya.

Selain itu, Maseri tak ingin menyalurkan zakatnya melalui badan amal atau zakat. Menurut dia, zakat harus diberikan terutama kepada orang terdekat, yaitu tetangga. Jika disalurkan kepada badan amal dan zakat, bisa-bisa tetangganya tak mendapatkan zakat dari dirinya. ''Tetangga bisa kelewatan. Dan yang menerima malah orang luar-luar,'' kata kakek lima cucu itu.

Dalam pembagiannya, Maseri telah menyiapkan sendiri strategi pembagian agar berjalan tertib dan aman. Sehari sebelum pembagian zakat, dia menyebarkan undangan sekaligus kupon. Orang yang menerima zakat hanyalah orang yang datang membawa kupon. Selain itu, kupon undangan hanya berlaku pada hari tersebut. ''Kalau yang tidak membawa kupon diberi, biasanya yang berdatangan malah tambah banyak,'' ujarnya.

Dari tahun ke tahun, jumlah zakat yang dibagikan selalu bertambah. ''Alhamdulillah selama ini aman,'' ungkap bos 24 karyawan penjaga toko tersebut.

Tahun ini, suami Hj Mardiyah tersebut membagikan zakat kepada 970 orang. Zakat dibagikan untuk 650 warga sekitar Kupang Gunung. Selebihnya, 150 zakat diberikan kepada jamaah pengajian dan 170 zakat dibagikan di kampung halaman di Bangkalan, Madura. ''Sebab, masih banyak saudara di sana,'' ujar lelaki yang kali pertama datang ke Surabaya pada 1970-an itu.

Zakat yang dibagikan kali ini tidak berupa uang tunai, tapi sembako dan pakaian senilai Rp 60.000. Pengalaman sebelumnya memberikan pelajaran bagi Maseri. Jika dibagikan dalam bentuk uang tunai, banyak anggota keluarga penerima zakat yang tidak mengetahui. Misalnya, yang mengambil zakat sang suami, tapi tidak disampaikan kepada istri atau istrinya tidak diberi tahu. ''Kalau dibagikan uang, takutnya tidak untuk kebutuhan Lebaran,'' tegas lelaki yang berulang tahun pada 4 Mei itu.

Semua yang Maseri lakukan tersebut semata-mata demi menunaikan kewajiban sebagai muslim. Selain itu, pembagian zakat yang menghabiskan uang Rp 50 juta tersebut merupakan wujud rasa syukur atas rezeki yang dia peroleh. ''Sebab, dulu saya datang ke Surabaya tidak langsung sukses,'' ujar pemilik toko yang masih rutin belanja sendiri ke Kembang Jepun untuk memenuhi isi toko miliknya tersebut.

Sebelum memiliki toko sendiri, Maseri berjualan rokok di sepanjang Jalan Kupang Gunung. Berkat keprihatinan dan kegigihan kerja, pria kelahiran Bangkalan 55 tahun silam tersebut berhasil memiliki toko sendiri yang kini ditempati beserta anak dan istri. ''Alhamdulillah, akhirnya bisa seperti ini,'' ujar bapak tiga anak tersebut.
(obi/dos)

( Jawa Pos )

 

Tuesday, September 16, 2008

Warning Tragedi Zakat Pasuruan

Oleh Ahmad Rofiq

Tragedi kemanusiaan akibat pembagian zakat secara langsung kembali berulang. Kali ini zakat di rumah H. Syaikhon Fikri, Desa Purutrejo Purworejo, Pasuruan, Jawa Timur, merenggut jiwa 21 orang karena berdesakan untuk mendapatkan zakat Rp 30.000.

Tragedi memilukan kali ini adalah kejadian yang kesekian kali. Tahun lalu di Semarang dan Bantul terjadi kisruh dalam pembagian zakat meskipun tidak ada korban.

Anehnya, para muzaki (orang kaya) tidak pernah "kapok" membagi secara langsung zakatnya kepada masyarakat. Tampaknya, mereka "menyimpan" kebanggan jika mereka dapat membagi secara langsung zakatnya, apalagi yang hadir ribuan orang dan berjubel dari berbagai daerah.

Mengapa mereka cenderung membagi zakatnya secara langsung kepada mustahik (penerima zakat)? Penelitian UIN Jakarta menunjukkan bahwa di antara Rp 50 triliun potensi zakat per tahun di Indonesia, baru tujuh persen yang tergarap oleh badan/lembaga amil zakat (BAZ/LAZ). Sepuluh persen masyarakat tidak percaya kepada BAZ/LAZ. Kebanyakan masyarakat menjawab, sulit akses kepada BAZ/LAZ, dan selebihnya menjawab karena kecilnya jumlah zakat yang mereka bayarkan.

***

Tragedi tersebut hendaknya menjadi warning bagi para pengelola BAZ/LAZ agar meningkatkan kinerjanya secara profesional. Programnya jelas, terukur, dibutuhkan masyarakat, dan lebih fokus pada upaya pemberdayaan ekonomi para mustahik, sekaligus membangun mentalitas kewirausahaan (entrepreneurship).

Misi utama zakat yang disyariatkan adalah mengurangi kemiskinan, yakni mengubah mustahik menjadi muzaki. Bagi muzaki, selain untuk membersihkan dan men-suci-kan harta mereka, juga agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya.

Karena itu, agar pelaksanaan misi zakat tersebut dapat terwujud secara konkret, manajemennya telah ditunjukkan dalam QS Al-Taubah: 60, yang disebut amil (wa al-'amilina 'alaiha). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa wajib, hukum pembayaran zakat melalui BAZ/LAZ. Jika memang dipandang perlu, MUI dapat mengeluarkan fatwa bahwa menyalurkan zakat melalui BAZ/LAZ adalah wajib.

BAZ/LAZ harus dikelola dengan manajemen zakat yang profesional. Sementara, sekarang masih ditangani oleh "panitia kecil" yang amatiran dan tidak profesional. Tugas amil belum diimplementasikan secara benar. Implikasinya, para muzaki tidak menaruh kepercayaan pada amil dan mereka cenderung membagi zakatnya sendiri langsung kepada para mustahik, tidak melalui amil. Itu pun pemilihan mustahik belum atau tidak tepat sasaran.

Amil adalah pengelola zakat yang secara eksplisit disebut Alquran. Amil harus bekerja dan mengurus zakat secara benar. Orang-orang yang ditugasi sebagai amil hendaklah yang memiliki kompetensi pemahaman tentang zakat, filosofi, dan tujuannya. Orang-orang yang ditugasi untuk menghimpun zakat mencatat, menginventarisasi mustahik, mengklasifikasikan, mendistribusikannya, dan membuat laporan pertanggungjawaban kepada publik.

Ada empat peran amil. Pertama, mengingatkan para muzaki agar tidak lupa membayar kewajiban zakat. Naluriah manusia adalah "bakhil" alias "kikir". Karena itu pula, kerja amil zakat adalah "menjemput bola" mendatangi muzaki (khudz min amwalihim) agar disiplin membayar zakat harta mereka sehingga hartanya bersih, suci, berkah, dan meningkat.

Kedua, menjadi intermediator antara mustahik dan muzaki. Meminjam bahasa Quraish Shihab, menjaga "air muka" mustahik agar tidak meminta-minta kepada muzaki. Islam memiliki konsep cerdas: tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah atau memberi lebih baik daripada meminta.

Meminta adalah pekerjaan yang "merendahkan" martabat dirinya. Muzaki tidak harus berhadapan langsung dengan mustahik karena akan dapat menimbulkan sikap riya dan mungkin takabur. Apalagi faktanya, banyak tragedi zakat telah menewaskan banyak orang.

Selain itu, Alquran mengidentifikasi mustahik yang hidupnya kekurangan dan tidak meminta-minta. Karena itu, untuk memberikan zakat, sebaiknya para mustahik didatangi oleh BAZ/LAZ agar tragedi zakat terulang lagi.

Ketiga, mengontrol para mustahik tidak menerima zakat dari berbagai sumber, yang dapat menimbulkan sifat dan sikap ketergantungan, yang dapat "memasung" dirinya untuk ikhtiar mengubah nasib dan masa depannya. Selama tidak ada sistem pengelolaan dan pendistribusian zakat secara konseptual yang bermuara pada mengubah mustahik menjadi muzaki dengan sistem zakat produktif, selama itu pula angka kemiskinan tidak pernah berkurang.

Keempat, memilah dan memilih serta mengklasifikasikan mustahik sehingga jelas di antara mereka mana yang lebih tepat menerima zakat konsumtif dan mana yang seharusnya diberi zakat produktif. Dengan klasifikasi itu, diharapkan dapat ditentukan target per tahun, berapa orang mustahiq yang diprediksi menjadi muzaki.

***

Karena misi utama zakat adalah mengubah mustahik menjadi muzaki atau mengentaskan kemiskinan, maka sistem dan konsep pengelolaan serta pendistribusian zakat ini harus dipahami oleh seluruh pengelola zakat, baik di badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah maupun lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Jika pengurangan angka kemiskinan itu menjadi program secara nasional, maka seluruh zakat mal yang terhimpun "wajib" disalurkan sebagai zakat produktif.

Pendistribusian zakat secara langsung oleh muzaki kepada mustahik secara harus dipotong/dipangkas. Selama para muzaki masih berminat membagi zakatnya secara langsung, maka implikasinya sama halnya menciptakan mental ketergantungan para mustahik. Mustahik yang termasuk kategori hidup kekurangan, tetapi tidak mau meminta-minta (al-mahrum) tidak akan pernah mendapatkan bagian zakat.

Untuk pertama kali memotong jalur ini, boleh jadi ada anggapan, Pak A orang kaya yang biasa membagi zakat sekarang "pelit"? Saya Kira, itu hal yang wajar. Atau, bisa juga dilaksanakan dengan memilah harta yang akan dibagikan. Harta yang dibagi secara konsumtif adalah infak dan shadaqah. Sementara zakat mal wajib disalurkan melalui BAZ/LAZ.

Dengan memotong jalur zakat konsumtif dan penyaluran melalui BAZ/LAZ, pendistribusian zakat produktif diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Allah a'lam bi al-shawab.

Prof Dr Ahmad Rofiq MA , guru besar Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

 

Thursday, September 4, 2008

Judi SMS

Ketik ” bla bla bla ’ kirim ke 0101 ...kirim sebanyak-banyaknya ...berhadiah bla...bla...bla ....

 

Kalimat itu sering kita lihat dan baca di layar televisi baik diacara kontes musik, akademi fantasi, dai kecil dsb.

Sebenarnya sms seperti ini adalah bentuk kejelian melihat peluang dari pelaku bisnis . Ya ini memang sebuah bisnis apapun kemasannya ...baik cari bintang, cari bakat dsb

 

Dan bisnis ini sangat menggiurkan, lagi pula aman dari jeratan hukum --setidaknya sampai saat ini. Mari kita hitung,satu kali kirim SMS biayanya --anggaplah- - Rp 2000. Uang dua ribu rupiah ini sekitar 60% untuk penyelenggara SMS Center (Satelindo, Telkomsel, dsb). Sisanya yang 40% untuk "bandar" (penyelenggara) SMS. Siapa saja bisa jadi bandar, asal punya modal untuk sewa server yang terhubung ke Internet nonstop 24 jam per hari dan membuat program aplikasinya. Jika dari satu SMS ini "bandar" mendapat 40% (artinya sekitar Rp 800), maka jika yang mengirimkan sebanyak 5% saja dari total penduduk Indonesia (Coba anda hitung, dari 100 orang kawan anda, berapa yang punya handphone? Saya yakin lebih dari 40%), maka bandar ini bisa meraup uang sebanyak Rp 80.000.000.000 (baca: Delapan puluh milyar rupiah). Jika hadiah yang diiming-imingkan adalah  rumah senilai 1 milyar, itu artinya bandar hanya perlu menyisihkan 1,25% dari keuntungan yang diraupnya untuk HADIAH sebagai "biaya promosi"! Dan ingat, satu orang biasanya tidak mengirimkan SMS hanya sekali. Masyarakat diminta mengirimkan SMS sebanyak-banyaknya dengan iming-iming "siapa tahu" mendapat hadiah. Kata "siapa tahu" adalah untung-untungan, yang mempertaruhkan pulsa handphone. Pulsa ini dibeli pakai uang yang artinya : kuis SMS adalah 100% judi.

Kondisi ini sudah sangat menyedihkan. Bahkan sangat gawat. Lebih parah daripada zaman Porkas atau SDSB. Jika dulu, orang untuk bisa berjudi harus mendatangi agen, jika dulu zaman jahiliyah orang berjudi dengan anak panah, sekarang orang bisa berjudi hanya dengan beberapa ketukan jari di pesawat handphone!

 

Kiranya MUI bisa memperhatikan permasalahan ini.


Monday, September 1, 2008